October 24, 2012
Siapa
Suruh
Kau…
PEREMPUAN!!!
Lha
wong di
lingkunganku saja sudah begini kok. Pake ngomongin yang diluar sana. Itu sudah terlalu akut. Tidak bisa lagi
dihilangkan. Steorotip orang mengenai ‘gender’
laki-laki dan perempuan itu sebenarnya tidak perlu dibahas lagi karena hal itu
sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Di mana-mana selalu saja anggapan bahwa
laki-laki itu adalah segalanya dan perempuan tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan dengan para lelaki yang belum tentu semuanya hebat dan ‘tahan banting’ itu.
Aku hidup di sebuah daerah kecil
di kota Salatiga. Sebenarnya di sana masih rada
bernuansa kampung. Sawah masih terhampar sejauh mata memandang. Tapi biarpun
keadaan kami bias dibilang masih ‘kamso’ alias ‘kampung tur ndeso’ (sudah
kampung desa pula) tapi otak kamipun terus update dan mengikuti perkembangan
jaman, tak terkecuali kaum hawa. Malahan, bisa dibilang justru lebih banyak
kaum perempuan di daerahku lebih banyak yang maju disbandingkan laki-laki yang
mayoritas hanya menjadi buruh pabrik tahu milik Pak Haji Somat. Pabriknya tidak
terlalu besar, tapi lumayanlah kira-kira mampu menampung sekitar 65-an penduduk
yang hamper seluruhnya adalah laki-laki. Kebanyakan perempuan di kampungku
justru lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Dan setelah menjadi sarjana maka banyak yang bekerja kantoran dan tak sedikit
pula yang membuka lapangan pekerjaan untuk tetangga-tetangga sekitar supaya
bisa menambah pemasukan ekonomi keluarga.
Aku sendiri termasuk dalam
kategori perempuan yang lebih memilih pendidikan daripada menerima lamaran
pemuda yang datang ke rumahku beberapa bulan silam. Gila betul rupanya
pemikiran manusia jaman sekarang ini. Baru aku menerima ijazah SMAku, sudah ada
yang mau melamar saja. Sekalipun hanya bertunangan, dan yang mengajak adalah
Mas Iqbal, pacar sekaligus kakak kelasku itu, aku juga masih harus
mempertimbangkan matang-matang keputusan serius ini. Lelahnya aku meyakinkan
Mas Iqbal bahwa aku juga sebenarnya tidak menolak jika memang ia benar-benar
serius ingin mempersuntingku.
“Aku hanya belum siap Mas, bukannya aku
menolak pinangan kedua orang tuamu. Apalagi kita masih sama-sama ranum untuk
berumah tangga” sekian kali aku menjelaskan sampai mulutku hampir pegal
dibuatnya. “Dik Ninie, ini hanya sebuah symbol ikatan saja. Supaya aku yakin
dan percaya kalau kamu akan tetap menjadi milikku.” Kata-katanya seakan tiada
habis dan selalu mematahkan kata-kataku. “Terserahlah Mas! Capek aku! Aku pikir
dengan aku berbicara baik-baik denganmu kamu akan segera mengerti. Ya sudah,
aku mau pulang saja!” lelah aku membicarakan alasanku yang terus saja dibuat
berkelit oleh Mas Iqbal. Akhirnya ku tinggalkan tempat duduk yang terletak di
tengah-tengah taman Gandapura dekat rumahku itu. Sebenarnya aku tahu Mas Iqbal
menyusulku. Dan aku juga tahu setelah itu Mas Iqbal tidak jadi mengikutiku
sampai rumah karena dia pasti tahu, sekali marah aku akan tetap marah kecuali
aku sendiri yang mengajak berbaikan terlebih dahulu. Bukannya aku meninggalkan
Mas Iqbal sendirian di taman karena aku tak lagi punya hati nurani. Biar
bagaimanapun perasaan perempuan jauh lebih peka dibandingkan laki-laki yang
hanya mementingkan egonya saja. Aku hanya tidak mau konflik antara aku dan Mas
Iqbal yang juga menyangkut keluarga kami menjadi semakin mendalam hanya karena
Mas Iqbal yangaku anggap kurang mengerti aku.
Beberapa minggu setelah kejadian
itupun aku melanjutkan studyku ke Jakarta. Mas Iqbal yang juga saat itu sedang
mengambil pendidikan sastra di sebuah universitas di Salatiga. Aku dan Mas
Iqbal sudah berbaikan dan dengan perasaan lega aku berangkat ke Jakarta.
Setahun sekali aku pulang menjenguk orang tuaku. Dengan bangganya setiap aku
pulang selalu membawa cerita yang menurut orang-orang di kampungku cukup
mengesankan. Aku memang hanya bercerita pada ibuku saja bahwa kehiduanku di
kota metropolitan yang ‘katanya’ dihuni oleh penduduk yang kaya, makmur dan
pintar itu bisa kujamah dengan begitu mudahnya. Kuliahku lancar. Aku
mendapatkan beasiswa penuh atas pendidikanku hingga aku menjadi sarjana nanti.
Begitu pula hubunganku dengan Mas Iqbal yang hingga saat ini sudah terhitung
hamper enam tahun. Empat tahun yang kami lalui dengan jarak jauh ini
lancar-lancar saja. Sepertinya baik aku maupun Mas Iqbal sendiri sudah terbiasa
berhubungan dengan jarak jauh dan dengan sekali pertemuan, seminggu dalam
setahun.
Lulus sudah aku dari perguruan
tinggi yang kini membawaku menjadi sekretaris presiden direktur di sebuah
perusahaan pangan terkemuka di Indonesia. Makin sibuk sajalah aku. Bosku cukup
baik. Beliau tidak terlalu membuatku tertekan. Tidak seperti
sekretaris-sekretaris sebelumnya yang menurut cerita sesame pegawai kantor yang
pernah aku dengar yang selalu saja mengundurkan diri sebelum masa kerja mereka
mencapai setengah tahun di perusahaan itu. Menurut mereka bos yang membuat para
sekretaris sebelum aku tidak betah melayani bos dan menghadapi tingkah laku bos
yang sering keterlaluan. “Keterlaluan bagaimana Mbak Lisa? Ah, menurutku dia
baik kok.” Rasa penasaranku akhirnya kutumpahkan pada Mbak Lisa, kepala bagian
keuangan perusahaan yang sudah hamper dua tahun bekerja di tempat yang
sama denganku. “Kebetulan memang dari
dulu sampai sekarang ruanganku dengan Pak Presdir itu berdekatan Ni, jadi
sekretaris yang bekerja disitu lumayan dekatlah denganku.” “Lantas apa yang
terjadi pada mereka semua?” tanyaku lebih penasaran. “Selama hampir dua tahun
aku belkerja di situ, sudah tiga sekretaris Pak Rico yang mengundurkan diri.
Dan anehnya dikasih pula pesangon gitu lho Ni. Sebenarnya aku sendiri merasa
aneh. Tapi, urusan mereka bukan urusanku. Elu ya elu, gue ya gue. Begitu kata
anak-anak metropolitan ini.” Akupun tertawa cekikikan bersama Mbak Lisa di
dalam bus metro mini oranye arah Blok-M – Cinere itu. Tanpa membahas lebih jauh
lagi, tak terasa kami sudah sampai di depan rumah kami masing-masing yang hanya
bersebrangan jalan raya aja. “Sampai jumpa besok Mbak!” kataku sambil
melambaikan tangan pada Mbak Lisa. “Iya Nini, sampai ketemu besok lagi.” Ku
lihat dia melambaikan tangan jua padaku.
“Tak ada satupun SMS masuk dari
Mas Iqbal!” kataku kesal sambil membanting tasku ke kasur. Bagaimana tidak?
Sudah hampir dua minggu ini Mas Iqbal sibuk dengan urusannya sendiri. “Lha wong
Cuma ngajar saja kok Mbak, masa’ iya sesibuk itu.” Begitu bunyi SMS dari Hilda,
adikku yang juga merupakan salah satu anak didik Mas Iqbal di SMA tempat Mas
Iqbal mengajar. Hatiku sedikitpun tak tergoyah meski adikku sendiri yang mengatakan
hal tersebut. Aku masih menganggap adikku masihlah anak remaja sensitive yang
akan merasa tidak terima jika dia melihat sesuatu yang tak disukainya. Tapi,
sejujurnya hatiku was-was dan takut. Takut jika Mas Iqbal sudah tidak kuat lagi
berhubungan dengan cara seperti ini denganku. Tapi, memang sebenarnya ada yang
aneh dari Mas Iqbal. Tidak biasanya dia tidak memberiku kabar begini. Sudah
kucoba telepon tapi tak di enyahkannya. SMSku pun tak ada dia balas. Lama-lama
aku jadi terbiasa tanpa Mas Iqbal lagi.
“Nini, siapkan berkas yang akan
kita bawa untuk meeting di puncak nanti!”
“BaikPak!”
Akupun segera menyiapkan beberapa berkas yang sudah ditanda tangani oleh Pak Rico kemarin.
Akupun segera menyiapkan beberapa berkas yang sudah ditanda tangani oleh Pak Rico kemarin.
Aku
berpamitan terlebih dahulu pada Mbak Lisa. Mbak Lisa hanya berpesan agar aku
berhati-hati selama di Puncak nanti. Karena biar bagaimanapun aku pergi dengan
laki-laki yang bukan muhrimku dalam satu mobil dan tanpa orang lain selain aku
dan Pak Rico. Sesampainya di sana aku dan Pak Rico langsung menuju ruang rapat.
Satu setengah jam sudah terlewatkan. Aku langsung menuju mobil untuk menaruh berkas-berkas
terlebih dahulu lalu kemudian aku menyusul Pak Rico kembali ke dalam untuk
mengambil beberapa berkas yang tadi belum terbawa. “Kita langsung pulang kan
Pak?”tanyaku sesampainya kami di tempat parker. “Ah, kalau lagi di luar kantor
gini jangan terlalu formal sama aku. Panggil aja Rico. Usia kita kan nggak
terlalu beda jauh.” Katanya ramah. “Ah, nggak enak sekali rasanya Pak. Eh, Rico
maksud saya.” Jawabku malu-malu. “Baik, kalau gitu aku antar kamu pulang ke
rumah saja dulu.” “Ah nggak usah Pak, eh Rico maksud saya. Saya bisa naik bis
kok Rico dari kantor. Sudah biasa.” Aku menolak tawarannya dengan halus karena
aku merasa tidak enak saja.
Bulan demi bulan, aku semakin dekat
saja dengan Rico. Tanpa memikirkan Mas Iqbal yang sudah hampir setengah tahun
tidak ada kabarnya itu, aku diam-diam menjalin hubungan khusus dengan Rico.
Yang bahkan Mbak Lina yang teman dekatku saja tidak tahu. Aku pelan-pelan mulai
menanyakan pada Rico tentang alasan mengapa sekretaris-sekretaris sebelum aku
semuanya mengundurkan diri dan Rico tetap memberikan uang pesangon besar pada
mereka padahal bukan karena ia pecat mereka keluar. Akhirnya Rico mulai
perlahan-lahan menceritakan padaku. Dia bilang, dia suka bermain gila dengan
sekretaris-sekretaris sebelumnya. Aku jadi takut dan menjauh darinya sebisa
mungkin.
“Tapi
percayalah, aku tak akan melakukan semuanya terhadapmu. Sungguh!”
To be continued....